Lopa, Sang Pendekar Hukum

Tulisan ini sengaja ditulis untuk mengajak kita flashback ke profile almarhum BAHARUDDIN LOPA. Tanpa bermaksud untuk pengkultusan individu, namun dia layak dijadikan teladan. Tokoh ini dikenal sebagai sosok abdi negara, pegawai negeri yang bersih, jujur, bekerja tanpa pamrih, dan tidak korup. Lopa adalah sebagai simbol perjuangan sekaligus fenomena penegakan hukum (law enforcement) di negara tercinta ini. Sehingga pengabdiannya terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia selama lebih dari 20 tahun pantas diapresiasi dengan penganugrahan penghargaan dari rakyat Indonesia dengan ditetapkannya tanggal 27 Agustus sebagai Hari Anti Korupsi yang diambil dari hari lahir Lopa.

 Anak Dusun
Barlop, demikian pendekar hukum itu biasa dipanggil, lahir di rumah panggung berukuran kurang lebih 9 x 11 meter (rumah itu sampai sekarang masih kelihatan sederhana untuk ukuran keluarga seorang mantan Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung), di Dusun Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935.. Dimata keluarga dekatnya, Lopa digambarkan sebagai pendekar yang berani menanggung risiko, sekali melangkah pantang mundur. Ia akan mewujudkan apa yang sudah diucapkannya. Gaya Lopa, terkesan tak mau kompromi. Mungkin ini pengaruh dari lingkungan di mana ia dilahirkan dan dibesarkan, masyarakat Mandar. Normatifitas Lopa, agaknya pula dipengaruhi oleh kelugasan masyarakat Mandar.
Ambisi untuk Memberantas Korupsi
Banyak orang yang tidak tahu betapa ambisinya Lopa untuk menjadi Jaksa Agung RI, tetapi ambisi beliau berangkat dari prinsip untuk menegakkan amar ma'ruf  nahi munkar. Bukan untuk mengejar harta dan kekuasaan. Baharuddin Lopa butuh kekuasaan untuk mewujudkan obsesinya memberantas korupsi. Tanpa kekuasaan, tanpa jabatan seperti Jaksa Agung, mustahil dapat memberantas korupsi. Ketika dalam salah satu perkuliahan S-3 di Program S-3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana UNHAS, dosennya adalah Prof Dr Baharuddin Lopa SH menyatakan, ''Didukung oleh setan pun saya bersedia, asalkan dapat menjadi Jaksa Agung!'' Jika kalimatnya sampai di situ, hanya akan menunjukkan ambisi seorang Baharuddin Lopa. Tetapi kalimat di atas masih dilanjutkan beliau, ''Saya sudah terlalu prihatin dan murka melihat korupsi merajalela dan Kejaksaan Agung tak menunjukkan keinginan optimal untuk memberantasnya. Karena itu, jika Tuhan menghendaki, saya bersedia jadi 'martir' sebagai Jaksa Agung untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu!'' Baharuddin Lopa berambisi untuk menduduki kursi Jaksa Agung, bukan demi uang dan kekuasaan, melainkan demi suatu misi luhur, menegakkan hukum dan keadilan, khususnya memberantas KKN. Apa yang salah dalam dunia penegakan hukum kita yang sedemikian amburadul ini? Tidak lain karena di antara petinggi hukum kini, ada yang sama sekali tidak memiliki ambisi untuk memberantas KKN. Mereka sekadar berambisi untuk meraup harta sebanyak-banyaknya selama masa kekuasaan mereka. Ambisi mereka hanyalah ambisi keserakahan, dan ambisi semacam itulah yang salah. ambisi untuk memperoleh power dalam pemberantasan KKN, karena tanpa power alias kekuasaan, tak mungkin kita mampu memberantas KKN. Memberantas KKN harus dengan action, dan action yang legal harus memiliki basis kewenangan. Ambisi untuk memberantas kejahatan bukan hanya tidak salah, tetapi sangat dan teramat dibutuhkan dalam kondisi keterpurukan hukum yang melanda Indonesia kini.
Perjalanan karir sang pendekar hukum ini dimulai pada saat menjadi Jaksa pada Kejaksaan Negeri Ujungpandang (1958-1960). Dalam usia 25, Baharuddin Lopa, sudah menjadi bupati di Majene, Sulawesi Selatan. Ia, ketika itu, gigih menentang Andi Selle, Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan. Lopa pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, Sejak 1982, Lopa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Begitu diangkat sebagai Kajati Sulawesi Selatan, Lopa membuat pengumuman di surat kabar: ia meminta masyarakat atau siapa pun, tidak memberi sogokan kepada anak buahnya. Segera pula ia menggebrak korupsi di bidang reboisasi, yang nilainya Rp 7 milyar. Keberhasilannya itu membuat pola yang diterapkannya dijadikan model operasi para jaksa di seluruh Indonesia. Dengan keberaniannya, Lopa kemudian menyeret seorang pengusaha besar, Tony Gozal alias Go Tiong Kien ke pengadilan dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi Rp 2 milyar. Padahal, sebelumnya, Tony dikenal sebagai orang yang ''kebal hukum'' karena hubungannya yang erat dengan petinggi. Bagi Lopa tak seorang pun yang kebal hukum. Pada bulan Februari 2001, ia diangkat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM. Kemudian ia berhasil menjebloskan ”raja hutan” Bob Hasan ke Nusakambangan. Pada 6 Juni 2001, Lopa menjabat Jaksa Agung, menggantikan Marzuki Darusman. Mulai saat itu, Lopa bekerja keras untuk memberantas korupsi. Ia bersama staf ahlinya Dr Andi Hamzah dan Prof Dr Achmad Ali serta staf lainnya, bekerja hingga pukul 23.00 setiap hari. Semasa menjabat Jaksa Agung, Lopa memburu Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura agar segera pulang ke Jakarta. Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan. Namun ketiga konglomerat “hitam” tersebut mendapat penangguhan proses pemeriksaan langsung dari Wahid, alias Gus Dur. Lopa juga menyidik keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh berbagai kalangan, namun Lopa tidak mundur. Ia patuh pada hukum, bukan pada politik. “Apapun yang terjadi, walau umur dunia tinggal sehari, hukum harus ditegakkan”, kata Lopa. Ia tetap bertekad melanjutkan penyidikan, kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung.
Misteri meninggalnya Lopa
Pada tanggal 4 Juli 2001, berita kematian Lopa sangat mengejutkan laksana petir di siang hari. Banyak orang yang tidak percaya dengan kepergian Lopa yang begitu cepat yang menjabat Jaksa Agung selama 1,5 bulan. Konon kabarnya karena kecapekan, jantung Lopa tak kuat, lantas inilah yang menyebabkannya wafat. Itu pun saat Lopa tengah menjalankan tugas kenegaraan, di Riyadh, Saudi Arabia. Namun banyak pihak meragukan gagal jantung penyebab kematian Lopa. Karena dari catatan kedokteran, Lopa tidak pernah ada gejala penyakit jantung. Menurut keluarga dan diperkuat oleh keterangan Mahfud MD, Menteri Pertahanan, bisa saja penyebab kematian Lopa akibat racun (seperti kasus Munir) atau kekuatan mistik (praktek black magic). Wallahua’lam bisshawab. Ini bisa terjadi karena track recordnya dalam 1,5 bulan menjabat Jaksa Agung telah mencatat deretan panjang konglomerat dan pejabat yang diduga terlibat KKN, untuk diseret ke pengadilan. Namun bagaimanapun Lopa adalah manusia biasa yang kapan saja, dimanapun dan dengan cara apapun akan dipanggil Yang Maha Pengadil. Lopa sebagai sosok penegak hukum yang terlampau cepat dipanggil Tuhan–sebelum mampu menyuguhkan secangkir keadilan yang tengah diraciknya. Yang lebih penting bagi kita sekarang: segeralah muncul Lopa-Lopa lain yang berani,tegas, lugas dan tidak pandang bulu dalam menyuguhkan bercangkir-cangkir keadilan, kalau tidak, maka akan terjadi tirani dinegara kita. Seperti pernyataan John Locke (1690), "Where law ends, tyranny begins.…"(Dari berbagai sumber)
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar