Chapter Report Filsafat Ilmu Realisme Metaphisik

BIBLIOGRAFI

Prof. DR. H. Noeng Muhadjir, Lahir di Bukittinggi, 13 Nopember 1930 adalah Guru Besar Pascasarjana dalan Filsafat Ilmu, Penelitian, dan Kebijakan di Program Pascasarjana berbagai Perguruan Tinggi, sejak 1984 sampai sekarang. Disisi lain, sampai awal 2001 telah menjadi promotor sekitar 40 disertasi doktor, dan 4 dalam proses. Pendidikan penulis pada HIS pada awal perang dunia II, kemudian melanjutkan ke SMP bagian Eksanta, selanjutnya di SMA Bahasa, Masuk Fakultas Sastra, Paedagogik, dan Filsafat di UGM (1952) beliau juga menyelesaikan S3 ditempat yang sama. Setelah menjadi Dekan di almamaternya selama 3 periode, beliau mempergunakan waktu untuk studi keluar negeri seperti : Oklahoma State University (1973), Harvard University (1978) untuk studi Administration for higher education dan policy and planning dan University of Lowa (1994). Kemudian beliau juga pernah melakukan short visit di Kyoto University, University of Klagenfurt, Austria, University of Linkopig, University of Uppsala dan University of Umeo, Swedia. Selanjutnya University of Washington, seattle, University of British Columbia, Vancouver dalam bidang studi yang ia geluti. Dalam bidang penulisan karya ilmiah, beliau banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan bidang filsafat ilmu, penelitian dan kebijakan seperti Ilmu Pendidikan (1964), Methodologies for manfower development and curriculum updating (1973), Logika formil dan logika Matematik (1976), Politik Pendidikan (1977), Metodologi Penelitian Kualitatif (1989) Perencanaan dan Kebijakan Pengembangan SDM (1992), Kebijakan dan Perencanaan Sosial (2000) Filsafat Ilmu (1998, 2001) dan banyak lagi buku-buku yang berhubungan dengan keahliannya.



TUJUAN PENULISAN :

1. Untuk mengetahui konsep filsafat yang ingin dikembangkan oleh penulis dari konsep filsafat Karl Raimund Popper

FAKTA UNIK DAN MENARIK

Perkembangan ilmu pengetahuan sejak zaman Yunani Kuno hingga ke zaman modern memiliki berbagal perbedaan pada sisi aksentuasinya. Pada zaman Yunani Kuno, misalnya, ilmu pengetahuan dititikberatkan pada aspek Ontologi. Yakni penekanan pada pembahasan yang mendalam terhadap substansi dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan, perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern beraksentuasi tajam kepada dimensi epistemologi, yakni corak kefilsafatan yang cenderung menitikberatkan pada proses atau metode ilmiah yang dilalui sebagai sarana mencapai kebenaran. Asumsi utamanya adalah bahwa untuk mencapai kebenaran yang absah (atau dapat diterima) dibutuhkan suatu proses dan metode yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Corak kefilsafatan semacam ini disebut sebagai kebenaran epistemologik, yang bersandar kepada argumentasi ihnu pengetahuan.

Kelahiran aliran-aliran baru dalam kefilsaiatan di akhir abad 20 menandal berlangsungnya era pembaharuan di dalam filsafat ilmu di dunia Barat. Kelahiran aliran-aliran baru dalam filsafat ilmu dunia Barat ini merupakan reaksi yang muncul atas ketidakpuasan mereka terhadap tesis-tesis empirisisme, rasionalisme dan idealisme.

Salah satu di antara aliran-aliran tersebut yang terkenal adalah realisme metaphisik yang dikembangkan oleh Karl Raimun Popper, seorang filosof ilmu alam dan sosial dari Austria, dan menjadi guru besar logika dan metode ilmiah di Inggris.

PERTANYAAN YANG MUNCUL

Bagaimanakah corak epistemologi dalam realisme metaphisik yang dikembang oleh Karl Raimund Popper?

KONSEP UTAMA YANG MUNCUL

A. Realisme Metaphisik Sebagai Epistemologi

Untuk memahami lebih cermat tentang bagaimana epistemologi yang dipergunakan oleh realisme Popper, penting sekai kalau kita mengenal dulu dengan jelas apa sebenarnya karakteristik realisme mataphisik itu. Yang harus dipahami adalah :

Pertama, wacana realisme metaphisik yang kita bicarakan sekarang adalah dalam koridor persoalan-persoalan sumber, metode dan hakikat pengetahuan (disebut epistemologi), dan

Kedua, istilah realisme adalah menunjuk kepada salah satu aliran filsafat ilmu yang ada di periode abad 20, yang membicarakan persoalan sumber pengetahuan bersama-sama dengan aliran lainnya, yakni rasionalisme, empirisme, dan kritisisme;

Ketiga, ialah metaphisik, berarti sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda-benda fisik. Persoalan metafisis umumnya terbagi kepada tiga yaitu : ontologi, kosmologi, dan antropologi.,

Penggunaan istilah realisme metaphisik menurut Noeng Muhadjir, hanya untuk menunjukkan sifat khusus cara penelaahan Popper yang merambah masuk ke dalam wilayah metaphisika, khususnya pada aspek kosmologi dan antropologinya. Noeng Muhadjir menyatakan bahwa yang metaphisik itu sesuatu yang umum, universal dan obyektif. Kebenaran obyektif universal tersebut untestable (tidak dapat dibuktikan) bersifat imajinatif tetapi tidak transendental. Disebut obyektif karena kebenarannya bebas dari subyektivitas individual, dan disebut Universal karena bebas dari kasus, bebas dari tempat dan waktu.

Kalau begitu, apa yang mau dibuktikan oleh Popper? Yang dibuktikan adalah uji falsifikasi, maksudnya adalah suatu pernyataan atau teori besar yang telah ada dapat dibuktikan salah oleh kejadian baru (can be falsified)

Noeng Muhadjir menyebutkan karakteristik yang membedakan realisme ini dari aliran lainnya adalah sebagai berikut :

Realisme metaphisik bertolak dart asumsi dasar bahwa alam semesta

ini teratur. Keteraturan itu bersifat obyektif metaphisik; dalam makna bahwa keteraturan obyektif itu disebut oleh Popper metaphisik, karena untestable. kalau diperbandingkan dengan rasionalisme, dekat dalam makna yakni sarna­-sama berangkat dari grand concept, bedanya adalah rasionalisme menguji hipotesis dengan dengan teknik uji verifikasi, sedangkan bagi realisme metaphisik menguji grand theory-nya dengan uji falsifikasi (uji kesalahan : sic.). Kemudian kalau diperbandingkan dengan phenomenologik, maka sama­-sama bersifat holistik. Dan mencari makna esensial, tetapi berbeda dalam cara penyimpulan, yaitu phenomenologik terbatas pada penyinlpulan ideognaphik, sedangkan realisme metaphisik berupaya membuat penyimpulan nomothetik.

Karakteristik seperti diterangkan oleh Noeng Muhadjir di atas cukup memadai untuk membedakannya dari aliran epistemologi yang lain.

B. Dasar Epistemologi Realisme Metaphisik

Titik tolak episteniologi popper berangkat dan dua asumsi yaitu : pertama, keteraturan semesta dan kebenaran obyektif yang rasional dan metephisik; kedua, teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis. tidak ada yang merupakan kebenaran terakhir, terbuka kemungkinan salah dan untuk digantikan oleh teori baru yang lebih tepat.

Untuk dasar yang pertama dapat diterangkan bahwa penbanut realisme mengakui keterangan semesta. Alam semesta ini teratur. Ilmuan berupaya membaca keterahiran alam tersebut. Popper memandang bahwa keteraturan alam semesta sebagai kebenaran obyektif, berada pada dataran rasional dan metaphisik. Noeng Muhadjir menganggapnya `dataran transendens'. Dataran metaphisik menurut Popper adalah kebenaran yang disajikan dalam pernyatamn yang untestable. Jadi, ada pernyataan yang testable dan pernyataan yang untestable. Yang testabel (yang dapat dibuktikan) hanyalah kejadian x dan penyebab y, bukan kejadian universal dan penyebab universal. Kejadian universal dan penyebeb universal itulah yang disebut oleh Popper sebagai kebenaran obyek metaphisik, yang untestable (yang tak dapat diverifikasi secara empirik). Oleh karena itu diperlukan adanya uji falsifikasi untuk membuktikannya. Dan di samping itu, bangunan teorinya tidak hanya sampai menguji kebenaran tetapi juga berusaha mencari makna idealisasi teoritik dari keteraturan semesta tersebut, yang menurut Popper hal itu sangat penting bagi konsep idealisasi moralistik manusia.

Sedangkan, untuk dasar yang kedua dapat diterangkan bahwa dalam penyelidikannya, Popper menyimpulkan bahwa pandangan yang selama ini diterima umum tentang cara bekerjanya ilmu pengetahuan dan sifat pengetahuan ilmiah ternyata salah. Ia mencontohkan teori Albert Einstein (1879-1955) tentang gravitasi yang merupakan tantangan terhadap teori gravitasi Isaac Newton (1642-1727), bahkan dapat dikatakan menyalahgunakannya. Lebih dari dua abad teori newton merupakan teori ilmu alamn yang paling penting dan berhasil. Teori ini menjadi dasar ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Namun, pada permulaan abad ini (abad XX) muncullah Einstein dengan teorinya yang berbeda dan melampaui teori Newton tadi. Itulah sebabnya popper berkesimpulan bahwa sifat ilmu hanya berada pada dataran hipotesis, tidak final, la mengandung probabilistik.

Menurut pemikiran Noeng Muhadjir, kita tidak boleh berhenti pada popper, kita harus terus angkat makna metaphisiknya popper ke dataran transenden karena peluang itu sebenarnya telah ada.

C. Kebenaran (the truth) menurut Realisme Popper

Kebenaran mutlak menurut popper berada pada dunia objektif universal. Tugas kita dalam ilmu pengetahuan adalah berupaya mendekati kebenaran mutlak itu, berangkat dari teori besar, diasumsikan menyatakan dunia obyektif yang teratur, dan diuji dengan logika deduktif probabilistik serta teknik uji falsifikasi. "

Lebih jauh lagi dijelaskan oleh Popper bahwa yang menjadi kriteria ciri ilmiah adalah testabilitas dan refutabilitas (kemungkinan untuk diuji dan kemungkinan untuk disangkal). Suatu pernyataan yang dianggap benar, kemudian terbukti salah, bukannya tidak berguna, karena menurutnya yang penting itu ialah `isi kebenaran' (truth content). Penyataan yang benar dapat muncul dari suatu kebenaran yang telah dibuktikan kesalahannya. Pernyataan ”Tuhan Itu Ada” bagi penganut Neo-­Positivisme merupakan pernyataan tersebut mengandung arti dan mungkin saja benar, hanya saja karena tak dapat difalsifikasikan maka pernyataan tersebut bukanlah pemyataan ilmiah. Karena kriteria batas antara ilmu dan bukan ilmii adalah falsifibilitas.

D. Obyek Dan Metode llmiah

Menurut Noeng Muhadjir, realisme metaphisik jauh sekali bedanya dengan rasionalisme. Rasionalisme, seperti juga Positivisme mencermati obyeknya berdasar satuan-satuan terkecil, yaitu berdasar variabel-variabel yang dipilih, dengan mengeliminasikan variabel lainnya; dan upaya pencarian kebenarannya didasarkan kepada olahan frekuensi dan variansi dari kejadian pada obyeknya. Realisme metaphisik dalam hal bagaimana obyek penelitian diurus, menjadi sangat dekat dengan pendekatan Phenomenologik, yaitu obyek penelitian dilihat secara holislik dan upaya pencarian kebenaran bukan didasarkan pada frekuensi dan variansi, melainkan didasarkan pada ditemukannya esensi. Kemudian dianalisis pula kandungan nilai (bobot nilai) dari setiap obyek atau Phenomena (value bond) atau apa saja yang disebut oleh kawan-kawan sebagai wetanschuung. Jadi, bukan bertahan pada ideographik tetapi beralih kepada nomothetik.

Muhadjir menyebutkan metode pemecahan masalah popper menggunakan rumus : P1-TS-EE-P2. PI adalah problem awal yang hendak dipecahkan; TS (tentative solution atau trial solution) yaitu pemecahan yang dicobakan; EE (error elimination) yaitu pengujian kritis terhadap "TS dengan maksud menemukan kesalahan di dalamnya dan kemudian membuang dan mengoreksinya; P2 adalah Problem baru yang timbul. Proses pemecahan masalah bukanlah proses siklis, karena P2 selalu berbeda dengan PI, bukan pula proses dialektis seperti Hegelian atau Marxis, karena kontradiksi tak dapat ditampung dalam tahapan manapun bagi metode Popper.

Oleh karena itu menurutnya, bila kehidupan dilihat sebagai rangkaian proses pemecahan, maka kita tak pemah dapat memulai sesuatu dari titik nol. Sejarah adalah, ilmu, atau filsafat, bukanlah rekaman kesalahan-kesalahan masa lalu yang terpisah-pisah. Sejarah adalah rangkaian argumen yang mengalir terus, suatu rantai problem-problem dengan tetative solution-nya yang saling berhubungan; dan kita saat ini memegang salah satu ujungnya.

E. Tujuan Epistemologi metaphisik.

Tujuan epistemologi menurut Popper adalah menemukan teori dan mengembangkannya. Hampir sama dengan grounded teori mode glaser dan strauss, tetapi ada beberapa perbedaan antara keduanya. Menurut Popper teori merupakan terkaan-terkaan informatif tentang semesta. Bagi model grounded, teori substantib yang berdasar data lokal dan spesifik, yang seterusnya dapat dikembangkan menjadi teori formal, yang ujungmya dapat terbangun grounded theory sedangkan model popper berangkatnya mulai grounded theory dengan deduktif-reflektif menemukan teori baru, dan begitu seterusnya dalam proses mendekati kebenaran yang universal, holistik dan bobot nilai. Menuju ilmu dan masyarakat yang terbuka serta berkembang .

Apa yang menjadi tujuan epistemologi Popper didukung oleh Talcot Parsons bahwa ilmu, masyarakat dan kebudayaan harus saling mendukung untuk perkembangan dan penerapan ilmu.

REFLEKSI DIRI

Untuk mengakhiri makalah ini, ada baiknya di kemukakan beberapa catatan penting mengenai epistemologi realisme methaphisik popper, untuk dijadikan bahan refleksi diri yaitu :


  • Realisme methaphisik popper berlawanan dengan paham positivistik (kepastian) tetapi tidak sama dengan relativisme, sebab menurut dia kebenaran itu ada, hanya saja kita tak pernah dapat merasa pasti bahwa suatu pendapat atau teori adalah benar. Yang kita persoalkan adalah kedekatannya kepada kebenaran dengan preferensi pilihan diberikan kepada pendapat dengan kedekatan terbesar, dan oleh itu, perlu terus kita lakukan uji falsifikasi agar nampak adanya usaha mendekati dan semakin mendekati kebenaran.




  • Realisme metaphisik melakukan penyimpulan bukan dengan cara ideografik tetapi nomothetik yang momot nilai (sarat nilai moral). Kriteria kebenaran (the truth) bagi realisme metaphisik adalah kebenaran obyektif rasional dan universal. Artinya dibalik kebenaran empirik probabilistik itu terdapat kebenaran universal vang untestable (yang disebut metaphisik).




  • Meminjam prediksi Noeng Muhadjir kehadiran epistemologi realisme mataphisik inii menggoyahkan paradigma sains Barat sekuler saat ini dalam kancah sains pasca modern.



  • Tidak ada komentar:

    Posting Komentar