Birokrasi Pendidikan Ditinjau dari Perspektif Ontologi

Pendahuluan
Hampir sepuluh tahun setelah Indonesia memasuki era "reformasi" (pascakepemimpinan Soeharto), negara ini tetap belum mampu membangun sebuah tata kelola pemerintahan yang baik, yang menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya dan mampu meredam ambisi pribadi para pengelolanya.
Kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Namun, yang saat ini terjadi justru sebaliknya.
Birokrasi Indonesia—sebut saja sekitar 3,6 juta pegawai negeri di luar polisi dan militer—justru menjadi beban negara. Sampai-sampai pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan zero growth untuk mengurangi kemubaziran tenaga pemerintah di instansi-instansi sipil.
Mengapa birokrasi kita tak mampu menjadi sebuah kekuatan pengubah?
Bisa jadi karena pemerintah memang tak memiliki visi kepemimpinan maupun grand design untuk melakukan reformasi.
Belum lagi struktur kepegawaian sipil di Indonesia begitu "gemuk". Terdiri dari lima eselon (tertinggi eselon 1), empat golongan (tertinggi golongan IV), Begitu juga birokrasi dalam pendidikan belum mampu memberikan konstribusi yang berarti bagi peningkatan mutu pendidikan. Dalam tulisan ini ingin dikaji tentang hakikat birokrasi pendidikan (aspek ontologi) yang mungkin bisa mengurai benang kusut birokrasi pendidikan.
Asumsi Dasar
Dalam dunia pendidikan, sebuah organisasi sangat diperlukan dalam rangka memperlancar fungsi dan proses pendidikan. Dalam menjalankan fungsi organisasi pendidikan tidaklah dapat dipisahkan dengan birokrasi. Pada dasarnya, birokrasi ini hakikatnya adalah salah satu perangkat yang fungsinya untuk memudahkan pelayanan publik. Birokrasi digunakan untuk dapat membantu mempermudah dalam memberikan layanan pendidikan yang pasti akan mempengaruhi dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Birokrasi merupakan instrumen pembangunan pendidikan. Kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Jika birokrasi dijalankan dengan benar, konsisten dan bertanggungjawab, maka kualitas pendidikan akan maju. Singapura, Hongkong, Malaysia dan Thailand merupakan contoh nyata negara yang menerapkan birokrasi dengan baik, sehingga pendidikan mereka mempunyai kualitas lebih baik dikarenakan birokrasinya yang profesional, tegas dan efisien.
Namun terdapat gejala atau fakta yang menunjukkan bahwa birokrasi tidak mampu memberikan layanan yang baik kepada pelanggan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari fakta-fakta berikut ini :

  1. Adanya keterlambatan dalam mensosialisasikan tentang perubahan kurikulum.
  2. Menurut laporan banyaknya pungutan liar pada instutusi pendidikan yang bermula dari birokrasi yang salah.
  3. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara birokratik-sentralistik;(Husaini Usman, 2002)
  4. Pembayaran tunjangan guru yang lamban dikarenakan rumitnya birokrasi
  5. TV trans7 memberitakan bahwa keterlambatan penerbitan ijazah SD s/d SLTA disinyalir karena birokrasi yang lamban.
  6. Menurut penelitian ditemukan bahwa birokrasi pendidikan ternyata mengidap patologis yang tingkat keparahannya cukup memprihatinkan. Paling tidak dalam penelitian tersebut ditemukan empat jenis penyakit
  • 1) rigiditas pelayanan,
  • pungutan birokrasi,
  • formalitas aktivitas birokrasi, dan
  • sikap instruktif aparat. (Sugeng Bayu Wahyono (1997:11-12)
7. Jajak pendapat Kompas 16-17 Maret 2005 menyimpulkan bahwa mentalitas birokrasi yang dilumuri KKN rupanya masih melekat dimata publik setiap kali berhadapan dengan aparatur pemerintah dan cara kerja mereka yang lambat dan berbelit-belit serta berbiaya tinggi. Anggapan negatif menemukan aktualisasinya pada keefektifan dan ketidakefienan mereka dalam melayani masyarakat. (Kompas g,2005:50)
Pengertian Birokrasi
Birokrasi berasal dari bahasa Prancis “bureau” yang berarti meja. Pengertian meja ini berkembang menjadi kekuasaan yang diwenangkan kepada meja kantor. Dalam kamus bahasa Indonesia, birokrasi mempunyai 3 (tiga) arti (1) pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat (2) cara pemerintahan yang dikuasai oleh pegawai negeri (3) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lambat (WJS. Purwadaminta, 2007:164)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa birokrasi selalu identik dengan pegawai negeri yang kerjanya lamban, bertele-tele dan berliku-liku dalam memberikan layanan.
Sementara itu birokrasi menurut Weber memiliki 6 pokok:
  1. Dalam organisasi ada pembagian tugas dan spesialisasi
  2. Hubungan dalam organisasi bersifat impersonal
  3. Dalam organisasi ada hiearki wewenang, dimana yang rendah patuh kepada perintah yang lebih tinggi.
  4. Administrasi selalu dilaksananakan dengan dokumen tertulis.
  5. Orientasi pengembangan pegawai adalah pengembangan karir yang berarti keahlian merupakan ktiteria utama yang diterima atau ditolaknya seseorang sebagai suatu organisasi dan berlaku pula untuk mempromosikannnya.
  6. Untuk mendapatkan efisiensi maksimal, setiap tindakan yang diambil harus selalu dikaitkan dengan besarnya sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi,
Selanjutnya dari enam pokok tersebut diatas, Weber membagi birokrasi dalam 2 tipe;
1. Organisasi karismatik, organisasi yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang memiliki pengaruh pribadi yang sangat besar bagi anggotanya.
2. Organisasi tradisional, organisasi yang pemimpinnya diangkat berdasarkan warisan.
Dalam mengambil keputusan, Weber berpendapat bahwa keputusan yang diambil harus menghindari penggunaan emosi dan perasaan suka atau tidak suka. Birokrasi menurutnya adalah usaha untuk menghilangkan tradisi organisasi yang membuat keputusan secara emosional atau berdasarkan ikatan kekeluargaan yang dapat menyebabkan organisasi tidak efektif dan efisien serta tidak sehat.
Dilihat dari berbagai teori tentang birokrasi yang dikemukakan Weber, dapat diambil kesimpulan bahwa kelebihan birokrasi Weber antara lain :
  • Cocok dengan budaya Indonesia yang paternalistik
  • dapat menstabilkan kesatuan dan persatuan bangsa
  • ketepatan, kejelasan, kontinuitas, keseragaman memudahkan kontrol dan kepatuhan pegawai.
Namun dibalik kelebihan tersebut diatas terdapat pula kelemahan dari birokrasi Weber
1. merangsang berpikir mengutamakan konformitas
2. merupakan rutinitas yang membosankan
3. ide-ide inovatif tidak sampai kepada pengambilan keputusan karena panjangnya jalur komunikasi
4. tidak memperhitungkan organisasi nonformal yang seringkali lebih berpengaruh kepada organisasi formal.
5. dijalankan secara berlebihan sehingga terjadi over bureaucratization
6. kecendrungan menjadi parkinsonian, yaitu terlalu banyak aturan yang berbelit-belit (simpul-simpul birokrasi) yang diatur oleh orang-orang yang menjadikan simpul-simpul birokrasi untuk menyelewengkan wewenang
7. kecendrungan menjadi orwelian, yaitu keinginan birokrasi mencampuri (turut melaksanakan) bukan mengendalikan urusan.
Menurut Husaini birokrasi berkembang secara berlebihan karena :
  • Lemahnya kontrol
  • Ambisi berlebihan untuk menambah pemasukan daerah
  • adanya unjuk kekuasaan pejabat bahwa dirinya harus diangggap penting, sehingga segala sesuatunya harus melalui persetujuannya
  • Memang dikondisikan untuk membuka peluang pungutan liar, kolusi, dan korupsi.

Birokrasi Pendidikan
Sebelum masuk pada pengertian birokrasi pendidikan, alangkah baiknya diluas pengertian pendidikan. Pendidikan dalam arti luas adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan berlangsung disegala jenis, bentuk dan tingkat lingkungan hidup yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada dalam diri individu. Dengan kegiatan pembelajaran seperti itu, individu mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa, cerdas dan matang. Jadi singkatnya, pendidikan merupakan system proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan dan pematangan diri. Pada dasarnya pendidikan adalah wajib bagi siapa saja dan kapan saja dan dimana saja, karena menjadi dewasa, cerdas dan matang adalah hak asasi manusia pada umumnya.
Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan adalah seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam system pengawasan dan diberikan evaluasi berdasar pada tujuan yang telah ditentukan. Kegiatan belajar seperti itu dilaksanakan didalam lembaga pendidikan sekolah. Tujuan utamanya adalah pengembangan potensi intelektual dalam bentuk penguasaan bidang ilmu khusus dan kecakapan merakit system tekhnologi.
Dari pendekatan dikotomis antara arti luas dan dan arti sempit, muncul pemikiran alternative. Secara alternative, pelaku pendidikan adalah keluarga, masyarakat, dan sekolah (dibawah otoritas pemerintah) dalam suatu sistem integral yang disebut tripartite pendidikan. Fungsi dan peran tripartit pendidikan adalah menjembatani pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat luas. Tujuannya, agar aspirasi pendidikan yang tumbuh dari setiap keluarga dapat dikembangkan didalam kegiatan pendidikan sekolah, untuk kemudian dapat diimplementasikan didalam kehidupan masyarakat luas.
Sementara itu birokrasi pendidikan yang dimaksud disini adalah penggunaan praktik-praktik birokrasi dalam pendidikan. Banyak persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan segera menjadi berlarut-larut karna rumitnya birokrasi contoh kasus tentang usulan perbaikan dan perawatan sarana dan prasarana serta perlengkapan ¬pendidikan yang diajukan oleh sekolah kepada pemerintah bahkan diajuka¬n setiap tahun, namun tidak ada respon dan penyelesaian yang memadai dari birokrasi pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten/kota maupun pemerintah pusat. Kondisi objektif ini menunjukkan bahwa sistem sentralistik kebijakan pendidikan, penentuan alokasi anggaran yang selama ini terjadi, meskipun sudah dilakukan kebijakan desentralisasi pemerintahan, bagi sekolah pola sentralistik dari sekolah ke pemerintah ¬daerah masih berjalan.
PP No. 38 tahun 1992 masih berlaku hingga kini, dan dalam PP ¬tersebut tidak dinyatakan bahwa Kantor Departemen Pendidikan maupun Dinas Pendidikan di Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai institusi pendidikan yang diurus atas dasar profesionalisme kependidikan, kemudian persyaratan para pimpinan : pejabatnya juga bukan berlatar belakang tenaga kependidikan.
Hal yang sama dalam Pasal 1 Ayat 10 UUSPN No. 20 tahun 2003 mengatatakan bahwa satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada jenjang dan jenis pendidikaN. ¬Hal ini berarti Dinas Pendidikan di Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Oleh karena itu persyaratan pejabat yang ada pada ¬lingkungan Dinas Pendidikan adalah persyaratan pengangkatan jabatan pada Pemerintah Daerah yaitu pengangkatan personal yang menduduki jabatan pada Dinas Pendidikan pada umumnya atas dasar golongan kepangkatan, pendidikan kedinasan eselon jabatan sebelumnya, dan DP3 terakhir bukan atas dasar profesionalitas pendidikan dalam arti berijazah pendidikan dan pengalamannya dalam bidang pengelolaan pendidikan. Pernyataan ini diperjelas oleh PP No. 38 tahun 1992 Pasal 4 Ayat 1 mengatakan hirarki yang diberlakukan untuk tenaga pendidik di masing-masing satuan pendidikan didasarkan atas dasar wewenang dan tanggung jawab dalam kegiatan belajar mengajar, Ayat 2 mengatakan hirarki yang diberlakukan untuk tenaga kependidikan yang bukan tenaga pendidik didasarkan pada pengaturan wewenang dan tanggung jawab dalam bidang pekerjaan masing-masing. Penempatan dan formasi bagi tenaga kependidikan pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak jelas atau kabur.
Sekolah dalam Birokrasi Pemerintah
Rendahnya biaya pendidikan yang disediakan negara pada negara berkembang menjadi alasan klasik rendahnya kemampuan pemerintah mendukung penyelenggaraan pendidikan yang memenuhi kebutuhan sekolah yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal inilah yang membedakan kualitas pendidikan pada negara berkembang dengan negara maju (Fangerlind, I dan Saha, L. J., 1983). Dunia pendidikan kita telah terpuruk. Pendidikan telah mendapat perhatian yang tinggi dari para birokrasi pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Tetapi perhatian itu hanya berbentuk sloganisme, secara faktual fasilitas dan sarana pendidikan memburuk, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan rendah yaitu hanya mampu memenuhi kebutuhan dan pangan tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak¬-anaknya dan kesehatan keluarganya. Jika hanya mengandalkan gaji dari guru, fasilitas pembelajaran tidak memadai, penerapan strategi belajar mengajar di kelas tidak memadai (monoton), dan kualitas lulusan seadanya saja tidak mempunyai daya saing yang memadai.
Sebagai implikasinya bagi generasi muda potensial memandang jabatan guru dan tenaga kependidikan adalah lahan kering, tidak memberikan jaminan kesejahteraan. Oleh karena itu generasi yang merasa memiliki kemampuan dan kecerdasan yang memadai tidak memilih jabatan guru atau tenaga kependidikan sebagai pilihan. Hal ini menggambarkan kemerosotan kualitas sumber daya manusia pendidikan yang cukup memprihatinkan. Dewasa ini satuan pendidikan atau sekolah pada semua jenjang dan jenis dihadapkan pada persaingan mutu yang ketat dan manajemen sekolah yang kompleks, sehingga pemahaman yang akurat tentang tujuan serta metode oleh setiap kepala sekolah untuk mencapai tujuan amat vital.
Namun dilihat dari posisi kepala sekolah di hadapan birokrasi pemerintahan seperti birokrasi Dinas Pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota, birokrasi ini tidak banyak memberi dorongan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pendekatan yang dilakukan pendekatan birokrasi antara bawahan dan atasan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan para birokrat pendidikan pada pemerintah daerah tersebut menempatkan diri sebagai atasan yang dipandang dapat mengambil kebijakan yang mengancam posisi kepala sekolah. Kepala sekolah dapat saja diusulkan oleh kepala dinas kepada bupati/walikota untuk diganti dalam waktu-waktu yang mengejutkan kepala sekolah. Kondisi demikian menjadikan kepala sekolah pada posisi yang gamang, tidak dapat melaksanakan tugas dengan optimal, tidak ada jaminan programnya menjadi perhatian memadai dinas pendidikan maupun pemerintah daerah di mana sekolah itu berada. Birokrasi tersebut cenderung memperlakukan kepala sekolah hanya sebagai unit kerja mereka, bukan dipandang sebagai pemimpin institusi profesional kependidikan yang memiliki otonomi atas dasar profesional tersebut. Perlakuan birokrasi yang demikian ini terhadap kepala sekolah tentu saja berkontribusi positif terhadap rendahnya mutu dan martabai pendidikan, bahkan menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Perilaku birokrat yang sangat mempersempit ruang profesional kepala sekolah dan para guru serta tenaga kependidikan lainnya yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pembelajaran. Meskipun demikian, tentu saja ada birokrat pendidikan dan kepala dinas pendidikan yang visioner dan memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan pendidikan dan juga memperhatikan serta mempertahankan kepala sekolah yang menunjukkan kinerja yang berkualitas. Tetapi kita tidak dapat menunjukkan seberapa banyak birokrat pendidikan dan kepala dinas yang visioner.
Kesimpulan
  1. Pada dasarnya, birokrasi ini hakikatnya adalah salah satu perangkat yang fungsinya untuk memudahkan pelayanan publik. Birokrasi pendidikan diharapkan dapat mempercepat peningkatan mutu pendidikan.
  2. Namun, fakta yang berbicara adalah birokrasi selalu saja hanya sebatas propaganda yang bersifat “melayani”, memudahkan hubungan antarwarga dan hubungan warga dengan negara.Yang sungguh sangat ironis lagi, birokrasi telah menjadi alat kontrol negara serta menjadi mesin penyedot uang bagi negara dan sekelompok oknum di dalamnya, atau dengan kata lain birokrasi justru menjadi "raja zalim" yang harus selalu “diabdi dan dilayani”.
  3. Birokrasi akan berjalan efektif, jika strukturnya ramping. Namun sebaliknya, jika strukturnya gemuk, maka pelayanannya akan semakin lambat, bertele-tele dan tidak profesional.

DAFTAR PUSTAKA
WJS. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesi, Jakarta: Balai Pustaka
Sagala, Syaiful. 2007. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suhartono Suparlan. (2007). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar ruzz Media.
Tilaar, H. A. R. 2003. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tony Bush & Marianne Coleman. 2008. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan. Yogyakarta: Ircisod.
Usman, Husaini. 2006. Manajemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar